Cincin, atau dalam bahasa Arabnya khatm, bukan hal
yang baru. Memakai cincin merupakan tradisi berpenampilan yang juga
dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Dan, bukankah Nabi SAW
adalah sebaik-baik contoh dan te¬ladan dalam segala hal?
Imam At-Tirmidzi menulis sebuah karya berjudul Asy-Syama¬il, yang
menghimpun dan menulis berbagai riwayat tentang kepribadian Nabi SAW
dalam berbagai hal. Disebutkan, Sepening¬gal Nabi, cincin beliau terus
dirawat oleh Khalifah Abubakar dan Umar, sebagai¬mana diriwayatkan dalam
hadits-hadits ten¬tang tabarruk, mengharap berkah.
Cincin merupakan aksesori berpa¬kaian. Selain menunjang estetika
pe¬nampilan, bagi kalangan tertentu mema¬kai cincin juga menjadi
identitas tambah¬an yang mengandung makna tertentu.
Bentuk cincin dari masa ke masa mengalami perubahan, sesuai kemajuan teknologi dan penemuan barang tam¬bang jenis bebatuan.
Kebiasaan memakai cincin ini sudah ada bersama kehadiran manusia, yang
menyukai pernak-pernik penunjang ke¬indahan, terlebih kaum Hawa. Bahkan
kebiasaan memberi dan menerima cin¬cin dalam pernikahan ternyata sudah
di¬mulai sejak lebih dari 4.800 tahun lalu.
Cincin pernikahan biasanya dipa¬sang di jari manis. Kebiasaan posisi
jari ini konon berakar dari kepercayaan bang¬sa Tudor abad ke-16 M bahwa
jari manis tangan kiri berhubungan dengan pembu¬luh darah yang
berhubungan langsung dengan jantung. Dari pemahaman ini, lalu muncul
semacam pemaknaan, sang pemakai cincin sedang berada dalam sebuah
hubungan yang menyangkut perasaan hati dan degupan jantung.
Bagi wanita, cincin bisa menunjukkan status sosial, kemapanan tingkat
eko¬nomi, dan membuat ia terlihat semakin cantik dan glamor. Tetapi bagi
pria, lebih pada rasa percaya diri, atau kegagahan.
Bahkan,. bagi sebagian pria dan tra¬disi masyarakat, batu cincin konon
bisa menjadi penolong atau pembantu diri¬nya, alias memiliki unsur
mistik. Dalam hal ini batu cincin yang dimaksud dijadi¬kan jimat, yang
mempunyai kekuatan supranatural.
Lantaran bisa menuju pada kemusyrik¬an, kepercayaan yang terakhir ini dila¬rang agama.
Tradisi Nabi
Memakai cincin merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Bahkan dicerita¬kan, Nabi Sulaiman AS dan Nabi Dawud AS juga memakai cincin.
Sebagaimana diriwayatkan Imam At¬Tirmidzi dalam kitabnya, Asy-Syamail,
cincin Rasulullah SAW kemudian dipakai Abubakar Ash-Shiddiq RA, lalu
dipakai Umar RA, kemudian Utsman bin Affan RA, sampai kemudian terjatuh
di Sumur Aris.
AI-Bukhari meriwayatkan bahwa Anas RA berkata, "Cincin Rasul SAW di
tanganku, lalu setelahku dipakai oleh Abubakar, dan setelah dari tangan
Abu¬bakar dipakai Umar, lalu pada tangan Utsman, dan kemudian terjatuh
di Sumur Aris. Tiga hari kami mencarinya, namun kami tak menemukannya."
Para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Umar RA dan Abdullah bin
Az-Zubair RA, meniru sunnah ini sebagai bentuk kecintaan kepada Baginda
Ra¬sulullah SAW. Abdullah bin Mas'ud RA, sebagaimana diriwayatkan, Imam
Ibnu Abdil Barr, dalam kitab At-Tamhid, me¬makai cincin besi. Sedangkan
Imam Syuraih dan Imam Abu Hanifah mema¬kai cincin perak. Namun, kalaupun
ba¬nyak salaf yang tidak memakai cincin, tidak berarti mereka
mengharamkannya.
Dalam beberapa riwayat hadits di¬sebutkan, Rasulullah SAW pada awal¬nya
mengenakan cincin yang terbuat dari emas sebelum adanya syari'at
pela¬rangan mengenakan emas bagi kaum laki-laki.
Di antara beberapa riwayat itu adalah apa yang disebutkan Imam Malik
dalam kitabnya AI-Muwaththa`. Dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW
pernah me-ngenakan cincin dari emas kemudian dibuang olehnya seraya
berkata, "Aku tidak akan mengenakannya (cincin emas) selama-lamanya."
Maka para sahabat yang menyaksikannya pada saat itu pun membuang
cincin-cincin emas mereka.
Di dalam hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik RA disebutkan, cincin
Rasulullah SAW terbuat dari perak, dan batu cincin¬nya adalah batu
Habasyi (HR Muslim).
Adapun bentuk cincin Rasulullah SAW? Sebagaimana disebutkan Ibnu
Al-Qayyim dalam kitab tarikhnya yang berjudul Zad al-Ma'ad, sekembalinya
dari Hudaibiyah beliau menulis surat kepada para penguasa di Timur dan
Barat yang dibawa oleh para kurirnya.
Tatkala beliau hendak menulis surat kepada raja Romawi, dikatakan kepada
beliau, "Sesungguhnya mereka (orang¬-orang Romawi) tidak akan membaca
suatu surat kecuali apabila dibubuhi tan¬da (stempel)." Maka atas usulan
itu, Rasulullah SAW menjadikan cincinnya, yang terbuat dari perak yang
di atasnya terdapat ukiran terdiri dari tiga baris, Muhammad pada satu
baris, Rasul pada satu baris, dan Allah pada satu baris, se¬bagai
stempelnya. Beliau pun menstem¬pel surat-surat yang dikirimkan kepada
para raja dengannya serta mengutus enam orang pada satu hari di bulan
Ramadhan tahun 7 H.
Dimana Nabi Mengenakan Cincinnya?
Bagaimanakah Rasulullah SAW me¬nyematkan cincin di jarinya? Dalam
se¬buah hadits yang diriwayatkan Muham¬mad bin Ishaq dikatakan, "Aku
menyak¬sikan Ash-Shalt bin Abdullah bin Naufal bin Abdul Muththallib
mengenakan cincin di jari kelingking kanan. Maka aku ber¬kata, 'Apa
ini?'
la menjawab, 'Aku pernah melihat Ibnu Abbas mengenakan cincinnya se¬perti ini dan menjadikan batu cincinnya di bagian luarnya.'
la kembali mengatakan, `Tidaklah Ibnu Abbas meyakini hal itu kecuali ia
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW mengenakan cincinnya seperti itu'." (HR
Abu Dawud).
Selain riwayat tentang peletakan cin¬cin di jari kanan di atas itu, juga
ada riwa¬yat lain yang menyatakan bahwa Nabi SAW juga mengenakan
cincinnya di jari
tangan kiri. Imam Muslim, di dalam Sha¬hihnya Dari hadits Tsabit dari
Anas bin Malik.RA, berkata, "Cincin Nabi SAW di¬kenakan di sini (la
mengisyaratkan kepa¬da jari kelingking kirinya)." Dan An-Nasa i juga
mengeluarkan hadits seperti ini.
Adh-Dhaya'i juga mengeluarkan ha¬dits Qatadah dari Anas, "Aku melihat
putihnya cincin Nabi SAW di jari kirinya." Dan orang-orang di dalam
sanad hadits ini bisa dijadikan dasar argumentasi di dalam keshahihanya.
At-Tirmidzi juga mengeluarkan hadits Abi Ja'far Muham¬mad dari
bapaknya, "Hasan dan Husein mengenakan cincin di tangan kirinya."
Dari beberapa riwayat hadits di atas tampaklah, ada riwayat yang
menyata¬kan bahwa Rasulullah SAW mengena¬kan cincin pada jari kelingking
kanannya, namun ada juga riwayat yang menye¬butkan pada jari kelingking
kirinya.
Para ulama berbeda pendapat di da¬lam menggabungkan hadits-hadits yang
berbeda tersebut. Ada di antara mereka yang menyamakan kedua hal
tersebut, artinya cincin itu bisa dikenakan di jari kanan atau kiri.
Tapi ada juga yang mengatakan bahwa pada awalnya Ra¬sulullah SAW
mengenakan cincin pada tangan kanan, namun kemudian beliau
memindahkannya ke tangan kiri.
Adapun pendapat Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim karyanya
me-nyebutkan, ijma' para fuqaha memboleh¬kan pengenaan cincin pada
tangan kanan, dan membolehkannya pada tangan kiri, serta keduanya pun
tidaklah dimakruhkan.
Imam Malik menganjurkan untuk di¬kenakan di tangan kiri dan memakruh¬kan
pengenaannya di tangan kanan. Se¬dangkan dalam Madzhab Syafi'i bahwa
tangan kanan lebih utama. Karena cincin merupakan hiasan, maka tangan
kanan lebih mulia dan lebih berhak untuk per¬hiasan dan kemuliaan.
Yang jelas, Rasulullah SAW melarang menggunakan cincin di jari tengah
dan telunjuk, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, dalam hadits
no. 2078.
Imam AI-Bukhari meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik RA bahwa
Rasulullah SAW mengenakan cincin yang terbuat Dari perak dan diukir di
atasnya tulisan Muham-mad Rasulullah. Dan beliau mengatakan, "Aku telah
mengukir di atasnya (tulisan) Muhammad Rasulullah, maka janganlah salah
seorang mengukimya (seperti ukiran Muhammad Rasulullah)."
Belasan hadits riwayat Shahih Al¬Bukhari dan Shahih Muslim menjelaskan
bahwa Nabi SAW memakai cincin perak dan mengenakannya di jari
kelingking¬nya, demikian pula dengan para saha¬bat. Mereka juga
menggunakan cincin jenis perak, sehingga hukumnya sunnah bagi pria
copas darihttp://www.madinatulilmi.com/?prm=posting&kat=1&var=detail&id=366